Kamis, 17 Januari 2013

Mardiana Maya Satrini

Tak gentar ancaman preman
Mardiana Maya Satrini
Ibu rumah tangga yang ingin menyelamatkan para perempuan dari bisnis prostitusi. AkibatnyaMaya Satrini (47) harus berurusan dengan para preman bayaran. Dan hidupnya pun penuh dengan ancaman.
Keinginan Mardiana Maya Satrini untuk membantu para korban human trafficking atau perdagangan manusia terjadi tanpa sengaja. Sejak kecil, Mardiana Maya Satrini hidup di lingkungan prostitusi di Singkawang, Kalimantan Barat. Mardiana Maya Satrini tidak tahu istilah “prostitusi”. Dan ia juga tidak sadar karena rumah orangtuanya dekat dengan lokasisasi di Singkawang.
                 
Setiap pulang sekolah Mardiana Maya Satrini acap melihat anak di bawah umur menangis di sudut rumah di dekat tempat tinggalnya. Mardiana Maya Satrini terus bertanya apakah yang terjadi sebenarnya dan mengapa ada anak yang acap menangis, tetapi pada saat itu Mardiana Maya Satrini belum berani untuk menanyakan itu. Mardiana takut apabila nantinya terlalu mengurusi orang lain.
               
 Rasa penasaran itu terus  terus bergejolak ketika Mardiana Maya Satrini memasuki SMP. Mardiana Maya Satrini semakin sering melihat anak-anak perempuan yang menangis tersedu-sedu. Suatu hari, Mardiana Maya Satrini berniat untuk mencari tahu itu semua. Sepulang sekolah, setelah Mardiana Maya satrini berganti baju, ia pun pergi ke kampung yang berada di belakang rumah.
               
 Baru beberapa langkah Mardiana Maya Satrini memasuki kampung itu, lagi-lagi ia mendengar suara anak perempuan menangis. Penasaran akan hal itu, Mardiana Maya Satrini pun mengintip dari sela-sela dinding papan (saat itu dinding-dinding rumah di Singkawang terbuat dari papan). Betapa terkejutnya Mardiana Maya Satrini ketika melihat pemandangan yang tak seharusnya ia lihat.
                
 Di dalam rumah terdapat seorang anak perempuan yang tengah di paksa untuk memenuhi nafsu bejat para para lelaki hidung belang. Lelaki hidung belang itu ada lima. Ya Allah, ucap Mardiana Maya Satrini dalam hati. Pantas saja banyak anak-anak perempuan menangis di sudut rumah. “ternyata ini akibat perbuatan bejat para lelaki itu”, tutur Mardiana Maya Satrini saat itu.

MENOLONG PARA KORBAN
Hati Mardiana Maya Satrini menangis setelah melihat peristiwa itu, kali ini ia lebih berani. Setiap ada anak perempuan yang telah menangis, Mardiana Maya Satrini tak segan-segan bertanya kepada mereka. Tak lama setelah peristiwa itu, Mardiana Maya Satrini kembali melihat peristiwa yang menyakitkan. Kali ini Madiana Maya Satrini melihat seorang anak perempuan yang tengah berlari di belakang rumahnya.
              
  Mereka berlari sambil menangis. Sesekali mereka menoleh ke belakang sambil mengusap air mata. Tampak si anak itu tengah panik dan sedang di kejar banyak orang. Yang membuat Mardiana kaget, di sekitar (maaf) alat kelaminnya terdapat darah. Mardiana pun menghampiri anak itu dan mencari tahu apa yang terjadi dengannya.
             
   Mereka pun bercerita kalau dirinya telah diperkosa oleh lelaki hidung belang. Anak perempuan ini tak terima. Mereka pun berontak dan menendang perut si lelaki itu dan pergi melarikan diri. Mendengar cerita perempuan itu, darah Mardiana seperti berhenti dibuatnya. “kenapa oramg-orang tersebut tega dan kejam terhadap anak perempuan di bawah umur,” ucap Mardiana dalam hati.
               
 Walau saat itu Mardiana berani bertanya pada anak itu, namun ia tak bias berbuat banyak. Itu pula yang ia sesali. Tak lama dari kejadian itu, anak tersebut tak lagi dengar kabarnya. Mardiana menyesal bukan main. Harusnya Mardiana bias membantu anak itu dan memulangkannya kepada orangtuanya di kampung. Dari situ pula Mardiana baru sadar kalau lingkungan tempat tinggalnya adalah lokalisasi atau tempat pelacuran.
               
 Semenjak itu Mardiana pun bertekad untuk lebih maksimal membantu para korban perdagangan manusia. Padahal pada waktu itu Mardiana masih duduk di bangku SMP. Tapi, Mardiana tak mau menunggu hingga dewasa untuk membantu para korban itu. Bila Mardiana melihat korban yang membutuhkan pertolongan, akan dibawa kerumahnya korban itu.
               
 Di situ Mardiana akan menyembunyikan mereka dan tak lupa member makan. Setelah semuanya aman, barulah mereka pergi. Di tambah saat itu, tahun 1996 kodisi Indonesia sedang susah. Pergolakan politik berdampak pada ekonomi. Di Singkawang contohnya, masyarakat kelaparan dan tak punya uang untuk membeli pangan.
               
 Begitu pula di daerah lokalisasi itu. Banyak anak-anak korban prostitusi tersebut yang menderita. Sudah di sekap, kelaparan pula. Diam-diam Mardiana pun mengambil jatah beras milik ayahnya. Kebetulan ayahnya seorang pegawai negeri sipil. Gajinya memang tak besar, tapi setiap bulan ia diberi jatah beras gratis. Bermodal beras itu pula Mardiana membantu para korban tersebut.
               
 Beruntunglah orangtua Mardiana tak pernah marah ketika berasnya diambil. Ia malah mendukung Mardiana tersebut. Mardiana ingat betul kata-kata ayahnya. Bila kita punya beras walau 1 liter, namun tetang kelaparan, kita harus membagi beras itu kepada orang kelaparan. Didikan orangtua Mardiana lah yang akhirnya membuat tekad saya semakin kuat. Mardiana berjanji ke pada diri sendiri untuk terus membantu anak-anak korban prostitusi tersebut.

MENDAPAT ANCAMAN PREMAN
   Setiap membantu para korban, dan di saat itu pula Mardiana mendapatkan masalah besar. Mulai dari gunjingan orang-orang hingga ancaman fisik. Tapi saya tak memperdulikan semua itu. Sebab, Mardiana sudah berjanji ingin terus membantu para korban. Lebih baik saya diancam daripada harus melihat para perempuan menderita karena tidak ada yang menolong.
                 
Setelah lulus SMA Mardiana semakin tertarik dengan dunia sosial ini. Hal ini berpengaruh terhadap cara pandang saya. Begitu pula ketika saya hendak mencari pendamping hidup, ia haruslah lelaki yang menyukai dunia sosial. Dan pilihan ia jatuh ke lelaki yang bernama Arman RA. Ia adalah teman semasa SMA dulu. Arman sangat mengenalinya. Ia tahu betul kalau saya banyak menghabiskan waktu untuk membantu korban prostitusi.
                
 Hebatnya, suami Mardiana tak pernah marah dan merasa cemburu karena waktu saya habis untuk mengurusi korban. Begitu pula dengan keempat anak Mardiana ; Haris Firmansyah (28), Fikri Ferdiansyah (23), RA Putri Utami (15), RA Putri Wulandari (12), mereka berbesar hati menerima semua kegiatan Mardiana ini. Apalagi, Mardiana membuka 24 jam rumahnya untuk para korban.
                Sampai-sampai keempat anaknya sudah terbiasa dengan para korban itu. Bila Mardiana sering tidak ada di rumah dan datang seorang korban, anak-anaknya akan menerima korban itu dengan baik. Setelah Mardiana datang, barulah korban itu akan Mardiana urusi. Mulai dari makan, menenangkannya, hingga mencari jalan keluar agar ia bias pulang ke kampung halamannya.
               
 Para korban itu rata-rata bukanlah orang asli Singkawang. Mereka di jual oleh sindikat besar dan dibawa paksa hingga sampai ke Singkawang. Ada yang dari pulau Jawa, Sumatra, Bali, dan masih banyak lagi. Pada awalnya korban itu di tawarkan untuk bekerja di luar kota. Setelah itu mereka akan di bawa ke Singkawang dan dijadikan pekerja seks komersial. Sungguh biadap sindikat itu. Mereka telah menghancurkan kehidupan banyak perempuan.
               
 Berhubung Mardiana sering menolong para korban, para mucikari tak senang dengan kegiatannya. Mereka mengirim preman-preman untuk menakut-nakuti Mardiana. Suatu hari Mardiana pernah dipukuli oleh preman-preman itu hingga giginya rontok. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Itu pula sebabnya kini gigi Mardiana ompong.
                
 Yang paling parah, Mardiana pernah di keroyok oleh ktiga orang preman hingga janin dalam kandungannya keguguran. Kejadian itu pada awal tahun 90. Saat Mardiana hamil muda. Seorang korban pelacuran menemui Mardiana dan meminta pertolongan. Namun, si muncikari mencium keberadaan Mardiana. Ia pun menyewa preman untuk menghabisi Mardiana.
              
  Mardiana dipukuli, ditendang, dan diinjak. Mardiana benar-benar tak berdaya kala itu. Tanpa sadar, kandungan Mardiana pun keguguran. Mardiana juga harus menjalani operasi karena terdapat luka d idalam rahim. Kejadian itu, Mardiana tidak bercerita kepada suami. Apabila ia tahu bahwa Mardiana di keroyok oleh laki-laki, tentu ia akan menyuruh Mardiana berhenti dari kegiatan sosial ini.

MASYARAKAT HARUS PEDULI
Apa yang Mardiana lakukan ternyata tidak sia-sia. Kini, pelacuran di daerah Mardiana sudah hilang. Namun, bukan berarti bisnis porstitusi tersebut hilang dari muka bumi. Walau hilang, bisnis ini tetap berkembang di tempat lain. Dan kegiatan untuk membantu para korban pun tak Mardiana hentikan. Mardiana semakin semangat mengajak masyarakat untuk peduli akan masalah ini.
               
 Banyak korban porstitusi tidak sadar atau tidak tahu kalau dirinya telah dijual dan dimanfaatkan. Kini, Mardiana terus mencari korban-korban  lain yang ada di luar Singkawang. Tak hanya anak-anak, para perempuan dewasa pun Mardiana bantu. Syukurlah, semangat untuk bergerak di dunia sosial ini menular ke semua anak Mardiana.
                
 Mereka ada yang terang-terangan membantu Mardiana dan ada pula yang aktif di karang taruna. Mardiana bangga terhadap anak-anaknya. Mardiana juga berharap masyarakat melakukan kegiatan serupa di daerah lain. Bila kita semua peduli, niscaya para korban itu bias diselamatkan. Dan yang paling penting, kita bisa menahan gerak laju bisni porstitusi.
  
               

"item"'>
Tak gentar ancaman preman
Mardiana Maya Satrini
Ibu rumah tangga yang ingin menyelamatkan para perempuan dari bisnis prostitusi. AkibatnyaMaya Satrini (47) harus berurusan dengan para preman bayaran. Dan hidupnya pun penuh dengan ancaman.
Keinginan Mardiana Maya Satrini untuk membantu para korban human trafficking atau perdagangan manusia terjadi tanpa sengaja. Sejak kecil, Mardiana Maya Satrini hidup di lingkungan prostitusi di Singkawang, Kalimantan Barat. Mardiana Maya Satrini tidak tahu istilah “prostitusi”. Dan ia juga tidak sadar karena rumah orangtuanya dekat dengan lokasisasi di Singkawang.
                 
Setiap pulang sekolah Mardiana Maya Satrini acap melihat anak di bawah umur menangis di sudut rumah di dekat tempat tinggalnya. Mardiana Maya Satrini terus bertanya apakah yang terjadi sebenarnya dan mengapa ada anak yang acap menangis, tetapi pada saat itu Mardiana Maya Satrini belum berani untuk menanyakan itu. Mardiana takut apabila nantinya terlalu mengurusi orang lain.
               
 Rasa penasaran itu terus  terus bergejolak ketika Mardiana Maya Satrini memasuki SMP. Mardiana Maya Satrini semakin sering melihat anak-anak perempuan yang menangis tersedu-sedu. Suatu hari, Mardiana Maya Satrini berniat untuk mencari tahu itu semua. Sepulang sekolah, setelah Mardiana Maya satrini berganti baju, ia pun pergi ke kampung yang berada di belakang rumah.
               
 Baru beberapa langkah Mardiana Maya Satrini memasuki kampung itu, lagi-lagi ia mendengar suara anak perempuan menangis. Penasaran akan hal itu, Mardiana Maya Satrini pun mengintip dari sela-sela dinding papan (saat itu dinding-dinding rumah di Singkawang terbuat dari papan). Betapa terkejutnya Mardiana Maya Satrini ketika melihat pemandangan yang tak seharusnya ia lihat.
                
 Di dalam rumah terdapat seorang anak perempuan yang tengah di paksa untuk memenuhi nafsu bejat para para lelaki hidung belang. Lelaki hidung belang itu ada lima. Ya Allah, ucap Mardiana Maya Satrini dalam hati. Pantas saja banyak anak-anak perempuan menangis di sudut rumah. “ternyata ini akibat perbuatan bejat para lelaki itu”, tutur Mardiana Maya Satrini saat itu.

MENOLONG PARA KORBAN
Hati Mardiana Maya Satrini menangis setelah melihat peristiwa itu, kali ini ia lebih berani. Setiap ada anak perempuan yang telah menangis, Mardiana Maya Satrini tak segan-segan bertanya kepada mereka. Tak lama setelah peristiwa itu, Mardiana Maya Satrini kembali melihat peristiwa yang menyakitkan. Kali ini Madiana Maya Satrini melihat seorang anak perempuan yang tengah berlari di belakang rumahnya.
              
  Mereka berlari sambil menangis. Sesekali mereka menoleh ke belakang sambil mengusap air mata. Tampak si anak itu tengah panik dan sedang di kejar banyak orang. Yang membuat Mardiana kaget, di sekitar (maaf) alat kelaminnya terdapat darah. Mardiana pun menghampiri anak itu dan mencari tahu apa yang terjadi dengannya.
             
   Mereka pun bercerita kalau dirinya telah diperkosa oleh lelaki hidung belang. Anak perempuan ini tak terima. Mereka pun berontak dan menendang perut si lelaki itu dan pergi melarikan diri. Mendengar cerita perempuan itu, darah Mardiana seperti berhenti dibuatnya. “kenapa oramg-orang tersebut tega dan kejam terhadap anak perempuan di bawah umur,” ucap Mardiana dalam hati.
               
 Walau saat itu Mardiana berani bertanya pada anak itu, namun ia tak bias berbuat banyak. Itu pula yang ia sesali. Tak lama dari kejadian itu, anak tersebut tak lagi dengar kabarnya. Mardiana menyesal bukan main. Harusnya Mardiana bias membantu anak itu dan memulangkannya kepada orangtuanya di kampung. Dari situ pula Mardiana baru sadar kalau lingkungan tempat tinggalnya adalah lokalisasi atau tempat pelacuran.
               
 Semenjak itu Mardiana pun bertekad untuk lebih maksimal membantu para korban perdagangan manusia. Padahal pada waktu itu Mardiana masih duduk di bangku SMP. Tapi, Mardiana tak mau menunggu hingga dewasa untuk membantu para korban itu. Bila Mardiana melihat korban yang membutuhkan pertolongan, akan dibawa kerumahnya korban itu.
               
 Di situ Mardiana akan menyembunyikan mereka dan tak lupa member makan. Setelah semuanya aman, barulah mereka pergi. Di tambah saat itu, tahun 1996 kodisi Indonesia sedang susah. Pergolakan politik berdampak pada ekonomi. Di Singkawang contohnya, masyarakat kelaparan dan tak punya uang untuk membeli pangan.
               
 Begitu pula di daerah lokalisasi itu. Banyak anak-anak korban prostitusi tersebut yang menderita. Sudah di sekap, kelaparan pula. Diam-diam Mardiana pun mengambil jatah beras milik ayahnya. Kebetulan ayahnya seorang pegawai negeri sipil. Gajinya memang tak besar, tapi setiap bulan ia diberi jatah beras gratis. Bermodal beras itu pula Mardiana membantu para korban tersebut.
               
 Beruntunglah orangtua Mardiana tak pernah marah ketika berasnya diambil. Ia malah mendukung Mardiana tersebut. Mardiana ingat betul kata-kata ayahnya. Bila kita punya beras walau 1 liter, namun tetang kelaparan, kita harus membagi beras itu kepada orang kelaparan. Didikan orangtua Mardiana lah yang akhirnya membuat tekad saya semakin kuat. Mardiana berjanji ke pada diri sendiri untuk terus membantu anak-anak korban prostitusi tersebut.

MENDAPAT ANCAMAN PREMAN
   Setiap membantu para korban, dan di saat itu pula Mardiana mendapatkan masalah besar. Mulai dari gunjingan orang-orang hingga ancaman fisik. Tapi saya tak memperdulikan semua itu. Sebab, Mardiana sudah berjanji ingin terus membantu para korban. Lebih baik saya diancam daripada harus melihat para perempuan menderita karena tidak ada yang menolong.
                 
Setelah lulus SMA Mardiana semakin tertarik dengan dunia sosial ini. Hal ini berpengaruh terhadap cara pandang saya. Begitu pula ketika saya hendak mencari pendamping hidup, ia haruslah lelaki yang menyukai dunia sosial. Dan pilihan ia jatuh ke lelaki yang bernama Arman RA. Ia adalah teman semasa SMA dulu. Arman sangat mengenalinya. Ia tahu betul kalau saya banyak menghabiskan waktu untuk membantu korban prostitusi.
                
 Hebatnya, suami Mardiana tak pernah marah dan merasa cemburu karena waktu saya habis untuk mengurusi korban. Begitu pula dengan keempat anak Mardiana ; Haris Firmansyah (28), Fikri Ferdiansyah (23), RA Putri Utami (15), RA Putri Wulandari (12), mereka berbesar hati menerima semua kegiatan Mardiana ini. Apalagi, Mardiana membuka 24 jam rumahnya untuk para korban.
                Sampai-sampai keempat anaknya sudah terbiasa dengan para korban itu. Bila Mardiana sering tidak ada di rumah dan datang seorang korban, anak-anaknya akan menerima korban itu dengan baik. Setelah Mardiana datang, barulah korban itu akan Mardiana urusi. Mulai dari makan, menenangkannya, hingga mencari jalan keluar agar ia bias pulang ke kampung halamannya.
               
 Para korban itu rata-rata bukanlah orang asli Singkawang. Mereka di jual oleh sindikat besar dan dibawa paksa hingga sampai ke Singkawang. Ada yang dari pulau Jawa, Sumatra, Bali, dan masih banyak lagi. Pada awalnya korban itu di tawarkan untuk bekerja di luar kota. Setelah itu mereka akan di bawa ke Singkawang dan dijadikan pekerja seks komersial. Sungguh biadap sindikat itu. Mereka telah menghancurkan kehidupan banyak perempuan.
               
 Berhubung Mardiana sering menolong para korban, para mucikari tak senang dengan kegiatannya. Mereka mengirim preman-preman untuk menakut-nakuti Mardiana. Suatu hari Mardiana pernah dipukuli oleh preman-preman itu hingga giginya rontok. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Itu pula sebabnya kini gigi Mardiana ompong.
                
 Yang paling parah, Mardiana pernah di keroyok oleh ktiga orang preman hingga janin dalam kandungannya keguguran. Kejadian itu pada awal tahun 90. Saat Mardiana hamil muda. Seorang korban pelacuran menemui Mardiana dan meminta pertolongan. Namun, si muncikari mencium keberadaan Mardiana. Ia pun menyewa preman untuk menghabisi Mardiana.
              
  Mardiana dipukuli, ditendang, dan diinjak. Mardiana benar-benar tak berdaya kala itu. Tanpa sadar, kandungan Mardiana pun keguguran. Mardiana juga harus menjalani operasi karena terdapat luka d idalam rahim. Kejadian itu, Mardiana tidak bercerita kepada suami. Apabila ia tahu bahwa Mardiana di keroyok oleh laki-laki, tentu ia akan menyuruh Mardiana berhenti dari kegiatan sosial ini.

MASYARAKAT HARUS PEDULI
Apa yang Mardiana lakukan ternyata tidak sia-sia. Kini, pelacuran di daerah Mardiana sudah hilang. Namun, bukan berarti bisnis porstitusi tersebut hilang dari muka bumi. Walau hilang, bisnis ini tetap berkembang di tempat lain. Dan kegiatan untuk membantu para korban pun tak Mardiana hentikan. Mardiana semakin semangat mengajak masyarakat untuk peduli akan masalah ini.
               
 Banyak korban porstitusi tidak sadar atau tidak tahu kalau dirinya telah dijual dan dimanfaatkan. Kini, Mardiana terus mencari korban-korban  lain yang ada di luar Singkawang. Tak hanya anak-anak, para perempuan dewasa pun Mardiana bantu. Syukurlah, semangat untuk bergerak di dunia sosial ini menular ke semua anak Mardiana.
                
 Mereka ada yang terang-terangan membantu Mardiana dan ada pula yang aktif di karang taruna. Mardiana bangga terhadap anak-anaknya. Mardiana juga berharap masyarakat melakukan kegiatan serupa di daerah lain. Bila kita semua peduli, niscaya para korban itu bias diselamatkan. Dan yang paling penting, kita bisa menahan gerak laju bisni porstitusi.
  
               

0 komentar:

Posting Komentar