Masalah aurat wanita dalam Islam terjadi khilafiah atau perbedaan pendapat. Baik dengan kaum liberal, ataupun di antara ulama klasik. Kaum liberal berpendapat bahwa memang perempuan dan laki-laki dalam Islam sama-sama harus berbusana yang sopan dan sederhana, tidak pamer dan tidak mengundang birahi. Namun, menurut mereka, kaum perempuan tidak wajib memakai jilbab karena jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.
Memang, jilbab dan busana muslimah sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).
Pro Kontra antara golongan Liberal dan Ulama Salaf memang patut kita maklumi, tersebab perbedaan interpretasi atas ayat-ayat dan hadis seputar aurat wanita. Namun demikian, perlu ditegaskan disini, bahwa penentuan aurat wanita sama sekali bukanlah untuk menurunkan derajat kaum wanita, bahkan justru sebaliknya.
Menurut Quraishihab dalam sebuah bukunya, upaya yang dilakukan oleh sebagian pihak, yang memamerkan wanita, dalam berbagai gaya dan bentuk, pada hakikatnya merupakan penghinaan yang terbesar terhadap kaum wanita, sebab ketika itu mereka menjadikan wanita sebagai sarana pembangkit dan pemuasan nafsu pria yang tidak sehat.
Penerapan batas-batas uarat bukan juga dimaksudkan untuk mengalangi perempuan ikut berpartisipasi dalam aneka kegiatan kemasyarakatan, karena apa yang diperintahkan oleh Islam untuk ditutupi sama sekali tidakmengalangi aktifitas mereka, itu sebabnya sekian banyak ulama masa lamoau yang menjadikan perimbangan musyaqqah (kesulitan) yang dihadapi, sebagai alasan untuk membenarkan terbukanya bagian-bagain tertentu dari badan wanita.
“Tingkatan martabat para muhrim berbeda-beda satu sama lain ditinjau dari segi hubungan pribadi secara manusiawi tidak diragukan lagi, keterbukaan seorang wanita dihadapan bapak dan saudara laki-akinya lebih terjamin atau lebih terpelihara daripada keterbukannya dihadapan anak suami (anak tiri) karena itu batas aurat yang boleh terbuka dihadapan masing-masing muhrim berbeda-beda.” Kata AlQurtubi.
Para pengikut Imam Hanafi, dalam masalah aurat wanita di hadapan lelaki bukan muhrimnya, berpendapat wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan, namun laki-laki tetap haram melihat padanya dengan syahwat. Sementara pendapat madzhab Maliki ada tiga. Pertama mengatakan, bahwa menutup muka dan kedua tangan itu wajib dan inilah pendapat yang masyhur. Kedua, mengatkan tidak wajib, tetapi laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Ketiga pendapat yang membedakan perempuan cantik dan yang tidak cantik. Perempuan yang dianggap cantik dalam sebuah masyarakat wajib menutup muka atau dengan cadar dan menutup telapak tangan dan hal ini sunnah bagi yang tidak cantik.
Sementara itu golongan terbesar, yakni Syafi’iah berpendapat bahwa tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan. Sama dengan pendapat Fuqaha jumhur yakni muka dan kedua telapak tangan bukanlah aurat wanita. Maka tidak wajib menutupnya. Tetapi wajib ditutup bila dirasa tidak aman.
Memang, jilbab dan busana muslimah sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).
Pro Kontra antara golongan Liberal dan Ulama Salaf memang patut kita maklumi, tersebab perbedaan interpretasi atas ayat-ayat dan hadis seputar aurat wanita. Namun demikian, perlu ditegaskan disini, bahwa penentuan aurat wanita sama sekali bukanlah untuk menurunkan derajat kaum wanita, bahkan justru sebaliknya.
Menurut Quraishihab dalam sebuah bukunya, upaya yang dilakukan oleh sebagian pihak, yang memamerkan wanita, dalam berbagai gaya dan bentuk, pada hakikatnya merupakan penghinaan yang terbesar terhadap kaum wanita, sebab ketika itu mereka menjadikan wanita sebagai sarana pembangkit dan pemuasan nafsu pria yang tidak sehat.
Penerapan batas-batas uarat bukan juga dimaksudkan untuk mengalangi perempuan ikut berpartisipasi dalam aneka kegiatan kemasyarakatan, karena apa yang diperintahkan oleh Islam untuk ditutupi sama sekali tidakmengalangi aktifitas mereka, itu sebabnya sekian banyak ulama masa lamoau yang menjadikan perimbangan musyaqqah (kesulitan) yang dihadapi, sebagai alasan untuk membenarkan terbukanya bagian-bagain tertentu dari badan wanita.
“Tingkatan martabat para muhrim berbeda-beda satu sama lain ditinjau dari segi hubungan pribadi secara manusiawi tidak diragukan lagi, keterbukaan seorang wanita dihadapan bapak dan saudara laki-akinya lebih terjamin atau lebih terpelihara daripada keterbukannya dihadapan anak suami (anak tiri) karena itu batas aurat yang boleh terbuka dihadapan masing-masing muhrim berbeda-beda.” Kata AlQurtubi.
Para pengikut Imam Hanafi, dalam masalah aurat wanita di hadapan lelaki bukan muhrimnya, berpendapat wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan, namun laki-laki tetap haram melihat padanya dengan syahwat. Sementara pendapat madzhab Maliki ada tiga. Pertama mengatakan, bahwa menutup muka dan kedua tangan itu wajib dan inilah pendapat yang masyhur. Kedua, mengatkan tidak wajib, tetapi laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Ketiga pendapat yang membedakan perempuan cantik dan yang tidak cantik. Perempuan yang dianggap cantik dalam sebuah masyarakat wajib menutup muka atau dengan cadar dan menutup telapak tangan dan hal ini sunnah bagi yang tidak cantik.
Sementara itu golongan terbesar, yakni Syafi’iah berpendapat bahwa tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan. Sama dengan pendapat Fuqaha jumhur yakni muka dan kedua telapak tangan bukanlah aurat wanita. Maka tidak wajib menutupnya. Tetapi wajib ditutup bila dirasa tidak aman.